“Hoooo!!”
aku terbangun dari mimpi burukku. Langsung terduduk di kasur dengan mata jelas
terbuka. “Ah.. aku mimpi buruk lagi..” ucapku dan mengusap mataku.
“Cecil?”
seseorang terdengar membuka pintu kamarku, “kau sudah bangun?”
“Hmm..”
jawabku.
Setiap pagi biasanya Claire selalu
membangunkanku tapi kali ini ternyata aku yang bangun duluan hohoho. Claire
biasanya pun menemaniku siap-siap sebelum berangkat sekolah. Karena biasanya
aku kehilangan seragamku, dia mencarikanku seragam di ruang ganti sementara aku
mengurusi rambutku dulu.
“Sudah seminggu
berangkat sekolah ya.. bagaimana perasaanmu,Cecil?” ucap Claire.
“Yah.. aku pun
tidak tahu, sekolah itu selalu membuatku mengantuk.” Jawabku sambil mencari lensa
kontakku.
Claire
tiba-tiba terus memperhatikanku yang sedang merogohi laci, “kau sedang mencari
apa?”
“Lensa kontak..
aku ingat kemarin malam aku menaruhnya disini..” aku terus mencari, “kenapa
sekarang tak ada?!”
Sekitar 20 menit aku dan Claire
berusaha keras mencari kontak lensku itu. Namun nggak ketemu-ketemu. “Cecil!
Kalau kamu nggak berangkat sekarang nanti kamu terlambat loh..” ucap Claire
yang masih mencari.
“Aduh.. tapi
kalau nggak aku pakai lensa kontak nasib mataku gimana dong?!”
Akhirnya Claire memberikanku sebuah
blanker (penutup mata) berwarna putih untuk mata kiriku. Mau bagaimana lagi,
kontak lensku hilang. Aku menyuruh Claire untuk mencarikan benda kecil penting
itu saat aku ke sekolah.
“Jelek
sekali..” omelku saat Claire berusaha memasangkan penutup mata itu padaku,
“seperti orang yang punya penyakit mata..”
“Yah..
bagaimana lagi?” Claire memasangkan pita di penutup mata itu, “coba kucari dulu
lensa kontakmu nanti..”
Aku berusaha menutupi mataku itu
dijalan. Berharap tidak bertemu siapa-siapa di jalan dan bisa berjalan kearah
sekolah dengan tenang.
“Loh? Cecil?
Ada apa dengan matamu?” seseorang memanggilku dari belakang. HAIAH, inilah
orang pertama yang menanyakan mataku. Bisa kau tebak siapa?.
Aku hanya
menjawab, “tak apa..” pada Ciel yang menemukanku di jalan.
“Oh ya? Sini
kulihat” dia berusaha membuka penutup mataku.
Kaget, aku
langsung menjauhkan diriku kearahnya.
Dia hanya diam,
kami melanjutkan jalan ke sekolah.
Tiba-tiba aku
menyadari, “dia nggak diantar sama mobilnya lagi?” pikirku dalam hati. Dan lalu
bertanya, “kamu nggak diantar lagi?”
“Oh..” dia
menjawab, “diantar kok, tapi tadi di jalan mobilnya mogok.”
Mendengar
jawabannya aku tertawa, “ahaha, kasian..”
“Ahh..” Ciel
menjawab singkat.
Aku berpikir, kenapa aku mau jalan
nyampe kelas sama dia hari ini? Aduh.. mending sama Yuuka daripada sama anak
super-hyper rich ini.
“Ah~ Ohayou
Cecil~” Yuuka menyapaku dengan riangnya saat memasuki ruang kelas.
Aku menjawab,
“Ohayou” dan tersenyum.
“Loh?” lanjut
Yuuka, “matamu kenapa?”
“Nyaah” aku
sudah menduga dia akan bertanya itu, “nggak apa-apa..”
“Lohh.. kasih
tau dong..” dia pun mengikuti jalanku sampai ke tempat duduk.
Aku melihat
semua orang melihat kearahku, mungkin mereka memperhatikan begitu anehnya
mataku hari ini.
By the way, kenapa Ciel belum masuk ke
kelas ya dari tadi?. Saat kami sampai di depan ruang kelas, sebenarnya kita
membuat persetujuan. Aku berkata padanya, “agar orang-orang tidak menunduh yang
aneh-aneh sama kita, lebih baik salah satu dari kita masuk duluan!”. Dan Ciel
pun mengalah, “yaudah, kamu dulu sana yang masuk duluan..”. Akhirnya aku masuk
ke kelas duluan dan seharusnya beberapa menit setelah aku masuk dia masuk dong,
lha ini anaknya mana?.
Udah lah, aku malas memikirkannya.
Langsung aja aku mengakhiri topik pembicaraanku dengan Yuuka supaya dia bisa
balik ke alam tempat duduknya sementara aku bisa menikmati masa-masa hangatku,
sendirian di tempat dudukku. “Let me see..” aku membuka notesku.
“Kemarin
kata-kataku cuma malas dan bosan..”
Aku membuka
halaman berikutnya dan menulis, “Penutup Mata Sialan” pada notesku itu. Yah
beginilah saya, jangan di komen yah.
Beberapa menit setelah itu ada guru
masuk. Dia berkata akan ada ulangan di jam belajarnya kali ini, yah namanya
juga ulangan mendadak jadi murid-murid lain pada membantah semua. Tapi guru itu
tetap memaksa ikut ulangan saja. Terpaksa dikasih waktu 10 menit untuk belajar
dulu.
Rencananya aku males buka buku, tapi
nanti dikira sombong. “Huft.. ulangan paling nggak sesusah soal olimpiade IPA
internasional yang aku garap 2 tahun lalu kan?” ucapku malas. Tidak membaca isi
buku itu, aku hanya memperhatikan gambar-gambar yang ada di dalamnya.
“Cecil..”
tiba-tiba aku mendengar suara seseorang di sebelahku.
Aku melihat
kearahnya, “gu-guru? (ngapain kesini sih? Males)”
“Itu.. ibu
dengar kamu dan Ciel yang bakal memasuki kontes besar sekolah kita berikutnya
ya? udah belajar?”
“A-ano.. udah
sedikit bu.. haha.” jawabku.
“Iya, kemarin
belajar bareng kok” sambung Ciel dari kursi sebelah.
“Ahaha.. bagus
ya, ibu percaya pada kalian!” ucap guru itu semangat, “oh ya, katanya nanti
pulang sekolah akan ada kakak kelasmu yang dulu menangin kontes yang sama,
kalian ketemu mereka dulu ya, minta bimbingan!”
“I-iya..
(gilak, males banget!)” aku menjawab.
“Te-tentu..”
Ciel pun sepertinya malas juga.
Pokoknya setelah 7 menit berlalu guru
itu memulai ulangan. Bener kan firasat aku, soalnya itu cukup mudah!. Take it
easy aja gitu, yang lain kelihatan bilang “Aduh.. soalnya susah!”.
Bel pulang sekolah berbunyi, kok
tumben sampai sekarang aku nggak ngantuk gini yah?. Mungkin penasaran sama
nilaiku kali ya? aduh..berapa ya. Aku berusaha keluar kelas sebelum yang lain
keluar, supaya nggak kelihatan dijemput naik mobilnya Ayah. Tapi,
“Cecil!”
seseorang memanggilku.
Aku membalikkan
badanku, “ya?” melihat suasana kelasku yang masih rame.
Ternyata Yuuka
yang memanggilku, “itu itu.. disuruh Ciel untuk nungguin dia keluar dulu..”
Wajahku menuju
kearah anak itu, Ciel sedang menata tasnya. Terlihat kesulitan.
“Cieeeee
tunggu-tungguan, mau pulang bareng yaaa?” seseorang dari kelas menyambung.
Yuuka terlihat
shock, “maah, mana mungkin!!”
“Nggak lah,
lagian siapa yang mau nungguin dia?” ucapku dan langsung berjalan sendiri ke
luar.
“Aaaah!!” Ciel
terlihat sudah selesai dengan masalahnya (walau terlihat sangat terburu-buru
dan belum sepenuhnya selesai), “Cecil! Tunggu woi!” dan dia berlari kearahku.
Mendengar sepatunya berlari aku mengkencangkan jalanku.
“Aduh.. Ciel
itu imutnya..” banyak anak perempuan dari kelasku berteriak, aku merespon di
jalan, “aduh..”
“Cecil!” tangan
anak itu berhasil memegang tangan kiriku, “udah aku bilang tunggu.. kenapa..
ninggal aku?” suaranya terpegah-pegah.
“Ya.. tak apa”
jawabku, “bisa lepas tanganku?”
“Bisa.”
“Yak. Makasih.”
“Sama-sama.”
Aku berkata,
“ngapa minta aku nungguin kamu?”
“Karena..” dia
menjawab kesusahan, “kita kan disuruh sensei untuk ketemu sama senpai yang dah
lulus itu kan?”
“Oh..” aku
berpikir sejenak, “yang mana yak?”
Mungkin jika aku pikir-pikir, aku ini
anak yang cerdas. Namun kalau disuruh mengingat hal yang kurang aku perhatikan
seperti nama orang pun kadang baru diingetkan 8 kali baru bisa inget. Apalagi
suruan guru seperti ini, mana bisa kuingat?. Akhirnya Ciel memberi tahuku,
menerangkan padaku dengan sabarnya. Dan saat aku mudeng kami berangkat kemana
nggak tau mencari kakak kelas itu.
“Loh? Kalian
ini?” tiba-tiba saat kami menelusuri sekolah kami bertemu seseorang.
Ciel menjawab,
“Loh? Kakak ini siapa ya?”
“Namamu Ciel
sama Cecil kan?” anak yang terlihat seperti sudah SMA itu berkata, “yang mau
ikut kontes itu ya?”
Aku menjawab,
“iya.”
“Oh..kenalin
deh, dek, namaku Snake, ini partnerku dulu Ai.”
“Loh? Snake?
Kakak siluman ular ya?” Ciel menjawab.
Aku hanya
berjabat tangan, “Ai-senpai.. salam kenal namaku Cecil..”
“Iya.. ahaha”
jawab Ai itu. “Duh,dek, dengerin ya.. anak itu tuh nyembunyiin namanya dan pake
nama ejekannya ke semua orang..”
“Lha memangnya
kenapa toh?” lanjutku ingin tahu juga.
“Nggak
apa-apa.. ya,Ai?” jawab Snake senpai.
“Haduh..” aku
dan Ciel berkata serentak.
“Jadi usaha kalian
baru-baru ini itu apa?” Ai senpai memulai topik penting.
“Rahasia!” aku
berteriak, tidak memberi tahu.
“Loh? Kok
rahasia?” Ciel terlihat bingung sendiri dari tadi.
“Nyaah” Snake
senpai tiba-tiba mencubit kedua pipi Ciel, “kamu itu cowok yang imut banget
ya.. huhuhuw~”
“Heey!!” ucap
Ciel membantah, “aku nggak imut!!”
Seperti yang biasanya aku lakukan
dimana-mana, jadinya diskusi ini hanyalah omongan-omongan nggak penting dan
jarang ngomongin tentang kontes itu. Udah itu nyampe kantin kami tambah sibuk
karena pesen minum.
“Heh, kalian menangin
kontesnya ya..” Snake kembali berbicara penting.
“Loh? Kenapa
harus kak?” Ciel kelihatan ling-lung lagi.
“Uuuu...” kak
Ai yang ada di belakang Ciel langsung mencubitnya, “soalnya biasanya guru-guru
disini itu pasti ingin menang, dan HARUS MENANG. Kalo nggak malah nanti kalian
bisa dibenci sama mereka..”
“Hah? Apaan
tuh?” ucapku membantah, “ada juga ya guru kaya gitu?”
“Ada dong..”
jawab Snake. “Hukum alam..”
Selesai kak Ai
mencubiti pipi Ciel, pipinya terlihat sangat merah dan Ciel terus memeganginya.
“Sakit..” ucapnya.
“Tapi toh,
kalian ini beruntung bisa ikut kontes..” ucap Kak Snake.
“Lho? kenapa
kak?” Ciel tak sengaja menampilkan wajah imutnya lagi, namun kali ini dia
menutupi kedua pipinya dengan tangannya.
Aku pun
mengangguk, “ikut kontes kaya gini ada untungnya? Ngarang..”
“Ada! Buktinya
nanti pasti hubungan kalian bisa semakin dekat dan dekat!” ucap Kak Ai.
“Buktinya..”
Kak Snake melanjutkan, “kami sekarang aja pacaran..”
“*brrrrr*”
tubuhku membeku, “bohong” ucapku dalam hati.
Ciel pun hanya
diam saja. “Loh?”
“Aduh..
seharusnya anak 2 SMP sekarang udah pada pacaran.. kalian ini kenapa malah
diam?” ucap Kak Snake heran.
Perjalananku pulang aku masih
memikirkan yang diucapkan Snake-senpai. “Ih enak aja.. aku lebih tertarik
dengan buku daripada anak cowok, apalagi Ciel. Hih” ucapku dalam hati.
Saat turun dari
mobil aku merasakan getaran di sakuku, “loh? Hand phoneku getar?” dan
mengeceknya sebelum berhenti. Ada yang menelponku.
“Halo?” ucapku,
tidak ada keterangan kontak yang menelepon disana.
“Ini benar
Cecil yah?” orang yang menelponku itu menjawab.
“Ya, siapa ini
ya?”
“Tebak dong..”
“Sudahlah aku
benci main tebak-tebakan.. (tapi yang kutahu kamu itu cewek, suaranya
kenakak-kanakan dan lembut banget di telpon nih)”
“Ini Rima,
Rima..”
“Oh.. Rima ya?”
ucapku. Dan tiba-tiba shock, “(HOEK!? RIMA??)” berbicara dalam hati, “(kok dia
tahu nomor telponku?!)”.
“Ahaha. Iya,
Cecil..”
“Hmm..” sambil
masuk ke rumah aku melanjutkan telpon.
Rima berkata,
“eh, maaf soal yang kemarin ya.. kupikir aku seharusnya minta maaf ke Ciel
karena membuatnya malu, tapi Ciel bilang minta maaf ke temannya juga..”
“Ohh..”
jawabku, “sudah nggak apa-apa kok,Rima..”
“Bagus deh!
Ahaha”
Aku tertawa
juga, “ahaha. Oh iya, boleh tanya sesuatu?”
“Iya.. apa yang
mau kamu tanyakan,Cecil?”
“Sebenernya
kamu ini siapanya Ciel sih? Adiknya yah?” tanyaku.
“Ho? Bukan
bukan..”
“Loh lalu
siapa?”
“Hihihi..
gimana kalo ngomongnya besok aja? Kita ketemuan?”
“Hah? (bener
juga besok sekolah libur, tapi..) ta-tapi..”
“Kenapa? Kamu
udah punya rencana lain?” jawab Rima.
“Bu-bukan sih..
(ada, rencananya mbaca semua buku-buku Ciel!)”
“Ya sudah!
Ketemuan yuk.. enaknya dimana ya??”
“Di rumahku?”
“Jangan.. nanti
dimarahin nenek..”
Aku berusaha
berpikir lagi, “bagaimana kalau di mall?”
“Wah, mall?”
“Iya mall, kenapa?”
“Sudah agak
lama aku nggak kesana.. ok, ke mall ya!”
“Ma-masa sih?”
“Iya.. habis
sibuk sekolah sih..”
“Perasaan
sekolahku santai melulu deh..” jawabku.
“Hehehe, ok
dah! Kalau gitu di mall aku tunggu dan 11 ya!”
“Ok!”
“Bye Cecil~”
“Bye Bye..” dan
aku pun menutup hand phoneku.
Aduh sebenernya aku sangat malas
bertemu dengan anak itu hanya karena 1 pertanyaaan. Apa karena jawabannya
panjang, aku pun tak tahu. Yang pasti dalam seminggu hanya ada 2 hari sekolah
yang libur, dan gara-gara ketemuan sama Rima mungkin aku harus sampai begadang
baca buku nih. Yah nggak apa-apa lah, namanya juga pencinta buku.
||-♫ ZAAW ♫-||
Tidak ada komentar:
Posting Komentar