Sabtu, 07 Januari 2012

24th Desembers - Chapter 19


# Di hari saat Olimpiade.. #
          Hari itu kami berhasil mendapat medali emas. Beberapa minggu yang lalu kami berdua sudah belajar bersama kakak kelas, Jirou senpai dan Ai senpai. Kami juga belajar dengan keras di rumah.
          Mereka terlihat sangat senang. Guru-guru, Ai, Snake, Yuuka, Claire, Rima serta beberapa suporter dari sekolah bertepuk tangan keras.
          Namun Raven tidak pernah pulang ke rumahnya sejak hari itu saat dia meninggalkan rumahnya. Aku terus menanyakan pada Claire kemana ia pergi, namun Claire hanya tutup mulut.
Aku tahu pasti ada sesuatu.
# 3 tahun berlalu.. #
“Cecil!” seseorang membuka pintu kamarku dengan kencang.
Berhubung aku sedang berkaca, berbicara dengan Cama, aku dengan sengaja menghentikannya. “O-oh!”
          Walau umurku sudah berumur 17 tahun, kebiasaanku masih terus sama. Tiba-tiba aku melihat seseorang masuk ke kamarku. Laki-laki berbaju hitam, basah. Mukanya terlihat menyimpan sebuah kesedihan.
“Ciel!” teriakku.
“...” anak itu diam, dia menundukkan wajahnya.
Namun aku hanya tersenyum. Sudah beberapa hari tidak bertemu dengannya karena dia lebih sibuk dengan sekolahnya.
          Untuk menghindari bencana karena kami adalah salah satu Anak Iblis yang bisa dipertemukan akan mengakibatkan bencana tidak pandang buluh, kami tidak tinggal se-rumah dan tidak belajar di sekolah yang sama. Kami pun jarang bertemu. Namun tidak ada sekecil bencana terjadi, sebenarnya aku sedikit penasaran apa yang terjadi?. Apapun itu, jika sepasang Anak Iblis disatukan, akan ada bencana datang.
“A-aku..” suaranya terputus-putus, “aku melihat.. sesuatu..”
Namun aku hanya mengambilkannya handuk, “kau basah,Ciel..”
“Jangan pedulikan aku,Kak!” ucapnya membantah, “saat ini air tidak akan membuatku lemah! Karena.. karena..”
“Aku tahu.. kau memang sudah berbeda dari Ciel 3 tahun lalu” ucapku dan memeluknya, “tapi setidaknya tenangkan pikiranmu dan bicaralah yang jelas..”
“Cecil..”
          Setelah sedikit mengeringkan badannya, Ciel tidak terlalu gemetar layaknya saat pertama kali masuk ke kamarku. Aku tahu air masihlah menjadi kelemahannya. Namun dia menutupinya untuk datang kemari.
          Ciel bercerita mengapa dia datang kembali. Dia juga meminta maaf akan masuk ke kamar anak perempuan tanpa mengetok pintu terlebih dahulu. Namun aku tidak terlalu bisa mengerti apa yang dia ucapkan. Dengan sekejap, dia menarik tangan kananku dan membawaku keluar dari rumah.
          Claire pun berteriak kemana aku akan pergi, namun Ciel tetap memegangi tanganku dan berlari keluar. Pengasuh bayiku itu pun sepertinya mengikuti kami dari belakang. Aku berjalan di tengah hujan lebat dengan penuh kabut yang gelap dan membuatku ketakutan.
Tanganku mulai bergetar, aku ketakutan. Walau aku tahu Ciel ada di sampingku untuk menjagaku, aku tetap merasa takut. Melihatnya gagah dari belakang membuatku sedikit tenang. Namun kurasa karena hujan ini Ciel agak sedikit ketakutan juga.
“Kemana kalian akan pergi, Young Lady! Young Master?!” tanya Claire dari belakang, berlari sambil menjinjing rok panjang maid-nya.
Aku hanya bertanya pada orang di depanku, “kemana kita akan pergi?!”
Namun anak itu hanya diam.
          Sesaat kemudian, kami sampai di sebuah wilayah yang pernah kukunjungi sebelumnya. “Tempat ini..” aku berusaha mengingat, “Pemakaman Salvatierra?!”. Tepat di ujung wilayah, Nenek dan Rima berdiri disana, membawa payung dan melihat kearah mereka. Aku mendengar suara kaki Rima mendekat ke arah kita, “Ciel! Bajumu basah semua..”
“Jangan perhatikan aku!” teriak Ciel.
Dia menarik tanganku erat-erat dan membawaku ke tempat Nenek berdiri.
Pertamanya aku hanya melihat wajahnya dan lurus ke depan.
Lalu aku pun mengecek apa yang ada di depanku itu.
“Fran Salvetierra, 1 Januari XXXX – 12 Oktober XXXX” disana aku melihat makam Ayah. Tepatnya, Ayah kami berdua. Namun aku menemukan satu makam baru di sebelahnya, “Raven Salvatierra, 18 April XXXX – 12 Oktober XXXX” makam Mama, Mama kita berdua.
Saat melihatnya, aku merasa sangat syok. Benar-benar rasanya sangat pedih, kali ini aku menangis di antara air hujan. “Huaaaaaaaaaaa!!” aku benar-benar tidak bisa menahannya, aku terjatuh ke tanah, masih berteriak. Ciel mendekat kearahku dan menyentuh pundakku. Dia namun sama sekali tidak mengucapkan apa-apa.
“Ciel.. Cecil..” tiba-tiba Claire mendekat kearah kami.
Begitu pula Rima dan Nenek. Mereka berdua pun ikut menangis. Nenek yang merasa sedih kehilangan anaknya. Serta Rima pun sedih kehilangan orang baik yang ia kenal.
“Sebenarnya aku memiliki suatu rahasia” lanjut Claire, “maaf karena selama ini aku menyembunyikannya pada kalian.. karena Raven yang menyuruhku menyimpannya.”
“Mama?” ucap Ciel dengan wajah manisnya yang suram.
Claire mengangguk.
          “3 tahun lalu, saat dia meninggalkan rumah, Lady Raven memberitahuku sesuatu..” Claire memulai penjelasannya.
“Lady, anda akan pergi?” tanya Claire melihat Raven membuka pintu rumah.
Raven hanya mengangguk, pandangannya lurus kearah pintu.
Claire bertanya sekali lagi, “mau pergi kemana?”
“Kemana pun, aku tidak memikirkannya..” jawab Raven singkat. “Yang pasti aku sudah berpamitan kepada kalian semua.. Cecil, dan Ciel termasuk..”
“T-tapi..” ucap Claire mencoba mencegahnya.
“Aku sengaja pergi dari rumah ini untuk menyelamatkan mereka.”
“A-apa maksud anda?”
“Aku akan menghilangkan kutukan mereka, kutukan Anak Iblis.” Lanjut Raven, “tentu aku tak tahu akan pergi kemana, dan tak tahu akan kembali atau tidak..”
“J-jangan Lady!”
“Tapi..”
“...” ucapan Claire terpotong.
Raven berbalik, melihatkan wajahnya pada Claire, “tolong jaga mereka baik-baik ya, Claire..” dengan terkejutnya Claire melihat Nyonyanya itu.
Ibu itu tersenyum padanya, namun tangisan terus mengalir dari bawah matanya.

“Ah.. kurasa sudah sangat lama saat aku meninggalkan Cecil dan Ciel..”
          Orang itu berjalan di tengah orang berlalu-lalang, sendirian. “Apakah mereka baik-baik saja?” ucapnya dan terus mengatakan segala sesuatu tentang kedua anaknya di benak hati terdalamnya.
“Pesawat menuju Australia telah datang?” ibu itu berkata saat melihat jam jadwal pesawat di layar, “waktuku untuk berangkat.”

“Benar!” tiba-tiba Ciel berteriak.
Aku pun bertanya, “ada apa, Ciel?”
“Tadi pagi, saat aku sedang mencari berita di koran untuk tugas sekolahku, aku membuka koran-koran lama. Koran sekitar 1 tahun lalu kukira..” ucap Ciel menerangkan, “dan aku menemukan sebuah berita!”
“Jangan-jangan.. berita yang kau bilang tadi pagi itu,Ciel?” Rima menyambung, “Pesawat dari Jepang ke Australia Berakhir Tragis itu kah judulnya?!”
Ciel pun mengangguk.
“Berita itu pun membawa nama Mama..” lanjut Ciel.
“Banyak sekali korban dalam kecelakaan tersebut. Pesawat yang diterbangkan pada pagi hari ini, 12 Oktober pukul 6 pagi, tetap landas walau didalam cuaca yang kurang bersahabat. Salah satu korban adalah mantan istri bangsawan Inggris yang pindah ke Jepang, Raven Salvatierra. Namun bukan lagi Salvatierra, dia adalah Raven Sharrown.”
“Tidak mungkin..” aku masih belum bisa percaya hal ini.
“Aku tidak mungkin melupakannya..” Ciel berkata, “kata-kata itu persis seperti apa yang kulihat di koran tadi pagi!”
          Kami berakhir menghabiskan beberapa menit di makam itu. Tentu kami semua sedih atas berita itu. Kejadian itu terjadi 1 tahun lalu, namun tidak ada siapa-siapa yang memberitahu kami. Kami semua pun mencoba pergi ke bandara. Mencoba menanyakan tentang kejadian tahun lalu itu.
“Oh iya benar!” seorang petugas disana menerangkan pada kami, “kalau kalian ini memang keluarga dari Raven Sharrown aku akan memberi tahu kalian sesuatu.”
Kami semua melihat orang itu dengan wajah serius.
“Saat kami menemukan korban, hampir semua sudah tidak menyatu, anggota badan memencar kemana-mana. Hanya ada asap, darah, tulang, dan api disana. Sang pilot pun menjadi abu. Itu benar-benar kecelakaan terburuk yang pernah kami alami!. Namun kurasa, Raven adalah satu-satunya korban yang tidak terlalu parah. Walau dia sudah tergeletak tanpa nyawa di tanah, tubuhnya masih sempurna, mungkin hanya ada luka bakar saja.”
“Lalu?” tanya Ciel, wajahnya mulai tidak sabar.
“(sepertinya itu adalah kecelakaan yang mengerikan..)” ucapku dalam hati.
Petugas itu pun melanjutkannya, “dia memegang sebuah kertas di tangannya. Jika aku mati, kubur aku di Pemakaman Salvatierra, letakkan aku di samping suamiku. Dan gantilah namaku menjadi, Raven Salvatierra.”
          Setelah mendengarkan ceritanya kami berterima kasih padanya dan pulang. Walau Mama dan Papa sudah bercerai, aku yakin mereka masih bagian dari keluarga kami.
          Beberapa hari berlalu. Kurasa kutukannya telah menghilang, kami tidak tertimpa sebuah kesialan atau apapun walau kami selalu bersama. Namun kecelakaan Mama mengubah semua. Memang beberapa hari setelah kami mengetahui hal itu, kami hanya diam muram. Hari demi hari terlewati, justru kami merasa hari-hari ini lebih hangat dari sebelumnya.
“Mama..”
“Papa..”
“Aku..”
“dan Ciel..”
“Kita akan selalu bersama,kan?”

||-♫ ZAAW ♫-|| 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar