Akhirnya
kami pergi ke Resort yang baru kami sadari dari kemarin letaknya hanya 10 meter
dari villa. Kami pun mengunjugi kamar nomor 33. “Permisi..” dengan membawa tas
biru yang kita temukan kami masuk kedalam.
Seorang ibu
menyapa kami, “iya? Bisa saya bantu?”
“I-ini..”
Ai-senpai menyerahkan tas biru itu padanya.
“Ini kan..” ibu
itu menerimanya, “Lala.. Lulu.. dari mana kalian mendapatkannya?!”
Dengan begitu kami ber-4 bercerita
pada mereka tentang apa yang kami lihat. Mulai dari suara keras itu sampai kami
datang kesini dengan detail supaya tida ada kesalah pahaman. “Jadi.. begitulah
ceritanya” ucap Ciel yang banyak bicara.
“Mereka benar-benar melakukannya, mereka..”
ibu itu menangis.
Sedangkan
suaminya juga belum bisa berkata apa-apa.
“N-nah. kami
pamit dulu..” kurasa tidak enak mengganggu momen mereka, jadi aku berkata dan
menyuruh teman-temanu itu untuk pamit. Alasan kedua, aku sudah tidak tahan
untuk pulang ke rumah dan meminjam buku Ciel tentang Anak Iblis itu, kudengar
ada novelnya jadi aku bersemangat.
Mereka memberi nomor teleponnya, kami
saling memberi supaya jika ada masalah bisa dihubungi lagi. Bodohnya, kami lupa
bertanya siapa nama mereka padahal mereka tahu nama kita satu-per-satu, pasti
begitu. Di hand phoneku mereka hanya kuberi nama, “Papa Lalu” dan “Mama Lalu”
(Lalu = Lala dan Lulu).
“Hah..
setidaknya buku kalian sudah hampir selesai kan?” Snake senpai berkata di dalam
kereta perjalanan pulang.
Ai senpai
mengangguk, “senang juga berlibur bersama kalian ahaha”
“Makasih ya,
senpai” aku dan Ciel menjawab kompak.
“Kita juga
punya mengalaman baru..” sambung Ciel.
“Anak Iblis
itu..” lanjutku dan melihat ke jendela, “membuatku penasaran.”
“Besok,
datanglah ke rumahku dan pinjam buku-buku referensi tentang itu. Mau?
Ketawarkan lo” ucap Ciel padaku, tersenyum.
“Ok!”
Keesokan harinya..
Masih
ada satu hari libur lagi, jadi aku meminta ijin pada Claire untuk mengijinkanku
pergi ke rumah Ciel karena rasa penasaranku tentang novel itu. Aku tidak
menemukan Raven sejak aku bangun, Claire bilang dia sedang belanja.
Selesai
memakan semangkuk serealku, aku pergi ke rumah Ciel pukul 10 pagi. Pertamanya
aku menghubungi Ciel bahwa aku akan ke rumahnya. Dan pergi kesana. Sekarang,
kehidupanku sungguh berbeda. Dari rumah yang nilainya 1 ton emas menjadi
setengah kurang dari itu. Aku sudah tidak punya Ayah dan Ibu, dan tinggal
bersama orang yang kurang kukenal namun itu merupakan orang yang
menyelamatkanku dan pengurus bayiku. Walau harta masih berlimpah, aku tidak
merasa bisa mengambilnya.
“Wah! Cecil!”
Rima menyambutku, dia sedang memegang serangkai bunga di taman depan mansion
Ciel, “Ciel bilang kau akan datang..”
“Iya, aku ingin
meminjam buku padanya..” ucapku riang.
“Kalau begitu
masuk saja, ayo” ucap Rima ramah dan menyuruhku masuk, “kebetulan hari ini
Mamanya Ciel datang, kurasa dia sedang berbincangd dengannya.”
“Mamanya,Ciel?”
aku bertanya, “wah..”
“Sebentar ya”
ucap Rima untuk memanggilkan Ciel.
Aku menunggu di ruang tamu yang besar,
serasa ada di rumahku yang dulu. “Hey, Ayah..” ucapku berbicara sendiri sambil
melihat keatas, “kau dimana sekarang? Apakah kau bahagia disana? Atau sedih?”.
Tiba-tiba, “Ah!
Cecil!”
Aku menoleh,
“Ah! Ciel!” dan melihat seseorang datang. Dia adalah temanku yang bertampilan
manis namun memiliki wajah yang cukup dingin.
“Jadi.. kamu
datang untuk meminjam bukunya?” tanya Ciel.
“Pastinya..”
aku menjawab, “maaf merepotkan lo..”
“Tidak apa-apa”
Ciel tersenyum dan mengajakku ke perpustakaan rumahnya.
Setelah cukup lama browsing disana,
aku tidak hanya meminjam buku-buku referensi tentang Anak Iblis-nya saja, namun
juga yang lain. Memang nafsuku untuk novel itu tidak bisa ditahan.
“Ahaha seperti
biasa, kau memborong novel ya?” ucap Ciel tertawa.
Aku pun
menjawab, “ahaha iya, maaf ya..”
“Tak apa. Kau
yang membuat perpustakaan ini hidup kembali kok, aku senang.”
“Hidup
kembali?” ucapku bingung.
“Iya” jawabnya
singkat.
“Ohoho, kalau
hidup perpustakaan ini bisa berjalan dong..” ucapku bercanda, “ahahaha!”
“B-bukan lah!”
Ciel pun menjawab jelas, wajahnya menunduk kebawah.
“Maaf, tapi
bagaimana maksdumu?” tanyaku yang masih belum mengerti.
“Jadi,
bagaimana ya..” Ciel berpikir sejenak, “dulu, Mamaku sering berkunjung kesini.
Namun gara-gara penyakitnya dia jadi jarang kesini. Mama dan Nenek adalah satu-satunya
orang yang senang membaca buku, dia juga seorang kutu buku, sama sepertimu.
Tapi nenek yang bertambah tua hari demi hari, semakin jarang berkunjung kesini.”
“Mamamu?” aku
menjawab, “(tadi.. Rima bilang kan..)”
“Oh iya! Itu
mengingatkanku tentang sesuatu!”
“Apa?” tanyaku.
“Mamaku
sekarang sedang berkunjung, baiknya bagaimana kalau kuperkenalkanmu padanya?”
ujar Ciel, “lagian tidak enak kalau ada teman orang tua tidak tahu.”
“B-benar juga
ya..”
“Kalau begitu,
ayo!” dia pun memegang tanganku dan mengajakku keluar.
Disana aku diajak ke sebuah ruangan
yang mirip seperti rumah kaca. Banyak sekali tanaman disana. Dinding kaca,
dengan tanaman tinggi dan merambat. Kursi-kursi dan meja dari besi berukir
bunga-bunga. Ada seperangkat teh di mejanya. Aku juga melihat sebuah piano
putih di pojok ruang, “tempat apa ini?” tanyaku.
“Ini tempat
yang paling disenangi Mama” jawab Ciel dan melepas genggamannya.
“Indahnya..”
“Mama?”
tiba-tiba Ciel memanggil Mamanya, “kau dimana?”
Suara piano
tiba-tiba terdengar, Ciel pun tersenyum.
Dia berjalan kearah piano itu, “Mama..
temanku berkunjung. Aku ingin memperkenalkannya padamu” ucapnya. Aku tetap diam
di tempatku, merinding mendengar suara pianonya yang merdu. Tangan Ciel menarik
berlahan telapak tangan halus yang muncul dari balik piano tersebut. Aku tidak
sabar melihat wajah Mamanya.
Perlahan, aku melihat rambung abu-abu
terangnya muncul. Sempat berpikir, “i-itu kan..”. Namun aku menunda
perkataanku, dan melihat ibu itu tersenyum. “Halo, Cecil..”
“Raven!?” aku
terkejut dan berteriak.
Ciel yang masih
menggenggam tangan Mamanya itu hanya bingung.
“Shh” Raven
dengan anggun seperti biasa itu bergeleng, “seorang Young Lady sepertimu tidak
boleh berteriak karena tidak sopan, benar?”
“K-kenapa
kau?!” wajahku berisi kebingungan.
Ciel berkata,
“tunggu, kau mengenal Mamaku?!”
Dan aku
menjawab, “tunggu dulu!“
“Aku tidak
mengerti!” aku dan Ciel berkata dengan serentak.
“Ciel?” aku
melihatnya, bingung.
Begitupun Ciel,
“Cecil?”
“He?” kami
berdua bingung dan diam sejenak.
“Ahaha” Raven
tertawa kecil, “lucu sekali kalian ini.. Cecil, Ciel..”
“I-ini..” aku merasakan
hal yang berbeda.
“Kenapa ini..”
sepertinya Ciel juga merasakan hal yang sama.
Raven
tersenyum pada kami. Dia membawa Ciel yang masih menggenggam tangannya
kearahku. “Cecil dan Ciel, kalian ini adalah..” Raven memeluk kami berdua dan
membisikkan kata-kata terakhir dari kalimatnya pada kami. Dengan setengah
percaya kami mendengarnya, “ha?” dan hanya bisa menjawab dengan wajah
kebingungan.
Ibu
itu pun menangis, “aku sangat senang.. benar-benar senang..” ucapnya dan
memeluk kami lebih kencang. Kami berdua pun memeluknya kembali tanpa
mengucapkan kata-kata. Hari ini benar-benar hari yang tidak terduga.
♪ GowGow_Bloogie@Cecil+Raven+Ciel
♪
“Selamat sore
semua.. Raven disini~”
“Cecil, sang
pemeran utama juga disini~”
“Begitu pula
aku, Ciel.”
Raven : kufufu~
akhirnya ada chapter yang membuat penasaran pembaca
Ciel : tadi
Mama ngomong apa sih? Bisikannya terlalu pelan..
Cecil : kau
ini, berusaha dengar dong!
Raven : hmm.. tidak
ada pemutaran ulang ya! jika kamu lihat ke chapter 17 awal sampai akhir juga
tak akan ketemu..
Cecil : kalau
begitu tebak-tebakkan saja!
Ciel :
baiklah.. karena tadi kalimat awalnya “Cecil dan Ciel, kalian ini adalah..” dan
setelahnya misteri, apa kata-katanya?
Raven : kalian
ini adalah.. anak yang cantik dan ganteng..
Ciel : ya sudah
pasti dong, Ma!
Cecil : pastinya,
nyehehei~
Raven : kalian
ini adalah.. alien..
Ciel &
Cecil : *melongo* benarkah?
Raven :
rahasia!
*tutup
layar*
||-♫ ZAAW ♫-||
Tidak ada komentar:
Posting Komentar